Beranda | Artikel
Dengan Dalih Kajian Ilmiah, Merendahkan Kedudukan Rasulullah
Kamis, 22 Juli 2010

DENGAN DALIH “KAJIAN ILMIAH”, CENDIKIAWAN-CENDIKIAWAN MUSLIM RAMAI MERENDAHKAN KEDUDUKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Oleh
Ustadz Abu Minhal

Kondisi sulit menyelimuti umat Islam dalam kurun dua abad terakhir. Terutama dengan munculnya konspirasi dari musuh-musuh Islam, misalnya upaya memberangus Khilafah Islamiyyah, cengkeraman Barat (Nashara) terhadap negeri-negeri Islam secara militer, politik maupun ideologi, dan dengan kegigihannya, mereka juga bermaksud memporak-porandakan keutuhan masyarakat muslim melalui putra-putri Islam sendiri yang telah dicekoki konsep-konsep kufur dan atheisme. Upaya ini kian memperburuk keberadaan kaum Muslimin. Apalagi ditambah dengan berkembangnya arus kebodohan, bid’ah dan khurafat di tengah kaum Muslimin.

Salah satu dampak buruk dari konspirasi itu, kemudian muncul berbagai pemikiran baru yang secara langsung maupun tidak telah bersinggungan dengan ‘aqidah Islamiyyah. Misalnya dengan berkembangnya rasionalisme, sekulerisme, liberalisme, dan sosialisme. Pemikiran-pemikiran ini telah merasuki otak dan pola pikir sebagian kaum Muslimin.

MENGAPA RASIONALISME BERBAHAYA BAGI KAUM MUSLIMIN?
Rasionalisme, sebuah cara berpikir yang mengagungkan kemampuan akal, dan memposisikan akal lebih tinggi dari agama (wahyu). Rasionalisme juga memberikan wewenang untuk membicarakan alam ghaib. Nash-nash syar’i yang berasal dari Allah l dan Rasul-Nya dikalahkan. Akal menjadi segala-galanya dalam menentukan dan menerima suatu hukum. Demikian pemikiran yang diusung oleh paham yang dikenal dengan istilah ‘aqlaniyyun. Keburukan konsep mereka tersembunyi di balik gelar megah, yaitu “Cendikiawan Muslim”. [1]

Konsep berpikir Mu`tazilah, yang mengutamakan akal di atas wahyu nampak kuat keberadaannya mempengaruhi kalangan akademisi, maupun tokoh-tokoh yang dianggap sebagai “cendikiawan muslim”. Tokoh-tokoh tersebut bisa kita sebutkan, misalnya: Dr. Thâha Husain, Muhammad Farid Wajdi, Dr. Ahmad Zaki Abu Syâdi, Salâmah Musa, Syaikh ‘Ali ‘Abdur-Razzâq, Qâsim Amin, Dr. Muhammad Husain Haikal, Dr. Ahmad Amin dan putranya Husain Ahmad Amin, Syaikh Mahmud Abu Rayyah, Muhammad Ahmad Khalfullah, Khalid Muhammad Khalid.

Tokoh-tokoh yang semuanya berasal dari Mesir ini, merujuk pemikiran Syaikh Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Muhammad ‘Abduh dari perguruan rasionalisnya (madrasah ‘aqliyyah). Arus pemikiran ini menyebar ke banyak negara, tidak terkecuali di Indonesia. Banyak karya-karya mereka yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Dan telah bermunculan pula cendikiawan-cendikiawan model mereka di negeri ini.

GELAR-GELAR YANG DISEMATKAN MEREKA KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Pada topik ini, hanya akan ditampilkan seputar pandangan kaum Rasionalis terhadap Nabi Agung Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengklaim diri sebagai kaum Rasionalis Muslim. Konon mereka pun telah melakukan pengkajian secara menyeluruh peri kehidupan dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenabiannya, serta seluruh ajaran yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saking banyaknya hasil kajian empirik mereka, hingga membutuhkan sebuah perpustakaan yang besar untuk menampungnya.

Banyak sisi kehidupan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi bahan “penelitian” mereka, sebelum nubuwwah maupun pasca kenabian. Dari kajian tersebut, mereka menyimpulkan, bahwa Muhammad adalah seorang manusia jenius lagi istimewa (?!), tidak ada hubungan antara beliau dengan kekuatan ghaib di luar jasad beliau, baik Malaikat Jibril secara khusus maupun lainnya.

Dari pemikiran ini, mereka kemudian mengaitkan segala yang muncul dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbentuk ilmiah dan amaliah, termasuk juga wahyu yang turun kepada beliau, semata-mata hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang jenius, unggul, reformis sosial yang agung, politisi yang piawai, pendobrak tatanan, pimpinan kudeta kebebasan, dan seterusnya. Suatu gelaran nama-nama yang di mata sebagian orang sekarang ini sebagai gelar-gelar yang “populis”, “ngetrend” dan “mentereng”. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Justru julukan-julukan tersebut telah menjauhkan beliau n dari nilai-nilai wahyu luhur, nubuwwah, dan keimanan yang tidak bisa dipisahkan dari diri beliau.

Bahkan kemudian, gelar-gelar jahiliyyah pun mereka sematkan pada diri beliau. Seperti: nabiyul-istirakiyyah (nabi sosialisme), rasûlul-hurriyyah (rasul kebebasan), nabiyyul-‘arûbah (nabi bangsa Arab), râidul-Qaumiyyatil ‘Arabiyyah (Panglima Kebangkitan Arab), dan sebutan-sebutan lainnya yang tidak pantas, atau mengenyampingkan tugas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam dimensi kehidupan yang lebih sempit.

Julukan-julukan di atas tidak mengherankan. Sebab, definisi kenabian yang mereka pegang, sangat jelas memisahkan pribadi para nabi dari keterkaitan mereka dengan wahyu ilahi. Sebut saja, apa yang disampaikan Syaikh Muhammad ‘Abduh, yang merupakan tokoh penting madrasah ‘aqlaniyyin. Syaikh Muhammad ‘Abduh berkata:

إِنْسَانٌ فُطِرَ عَلَى الْحَقِّ عِلْماً وَعَمَلاً بِحَيْثُ لاَ يَعْلَمُ إِلاَّ حَقَّا وَلاَ يَعْمَلُ إِلاَّ حَقَّا عَلَى مُقْتَضَى الْحِكْمَةِ

“(Manusia yang tercipta di atas fitrah al-haq dalam ilmu dan amaliah, dimana ia tidak mengenal kecuali hanya kebenaran saja, dan tidak berbuat kecuali kebenaran semata berdasarkan nilai-nilai hikmah)”.

Dr. Nashir al-‘Aql menyampaikan hasil analisanya berkaitan dengan definisi di atas. Menurut beliau, definisi tersebut menunjukkan adanya unsur tasâhul (menggampangkan) dan tawassu’ (kelonggaran) dalam memberi makna nubuwah. Sebab, definisi itu bisa berlaku pada seorang nabi dan lainnya. Pasalnya anak Adam tercipta dalam keadaan fitrah. Terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberikan taufik kepada kalangan shalihin, hingga mereka tidak berbuat kecuali tindakan yang benar.

Konsekwensi dari definisi kaum Rasionalis di atas berarti tidak menegaskan isthifâ (pilihan) dari Allah terhadap para nabi. Sehingga para tokoh Sufi dan Syiah pun bisa masuk ke dalamnya. Begitu pula meniadakan keberadaan wahyu yang merupakan unsur tak terpisahkan dengan nubuwwah. Karenanya, para ulama mendefiniskan nabi sebagai orang yang diberi wahyu. Bila diperintah untuk menyampaikan maka ia adalah Rasul.[2]

YANG DILUPAKAN OLEH KAUM RASIONALIS
Pada dasarnya, bahan kajian mereka sangat parsial, timpang dan tidak komprehensif (tidak menyeluruh) sebagaimana klaim mereka. Obyek kajian mereka terbatas hanya berkutat pada [Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu]. Mereka melupakan, atau pura-pura tidak mengetahui, sehingga mengesampingkan sisi lain yang menjadi keistimewaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas orang lain, yang sebenarnya telah terkandung dalam lanjutan ayat di atas. Yakni, [yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa“] –al-Kahfi/18 ayat 110.

Tinjauan “ilmiah” mereka hanya menitikberatkan pada aspek kejeniusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tujuannya, tidak lain, ialah untuk menisbatkan segala perbuatan dan ucapan beliau kepada tingkat kejeniusan beliau yang sangat fantastis, dan bukan dalam bimbingan wahyu. Karena menurut mereka, dimensi wahyu, kenabian, dan risalah adalah perkara-perkara ghaib yang tidak bisa diuji berdasarkan “riset ilmiah”. Menurut penuturan mereka, hal-hal demikian tidak bernilai dalam perspektif ilmu modern, karena hanya membawa kepada pemikiran khurafat dan dongeng fiktif belaka. Sedangkan kejeniusan dan intelegensia merupakan sifat manusiawi, sehingga, menurut mereka ilmu modern mampu mencernanya dan menghormatinya. Dan kaum Muslimin pun juga dapat membuktikannya melalui penelitian empirik, kata mereka.

Semua alasan yang begitu jelas dipaksakan ini, tiada lain menunjukkan indikasi inhizamiyyah (mental rendah diri) di hadapan peradaban Barat yang mengedepankan hasil karya akal, keimanan yang lemah kepada Allah dan risalah-risalah-Nya, serta bentuk kebodohan terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.[3]

Bukti paling jelas tentang hal itu, bahwa tulisan-tulisan mereka kebanyakan hanya menuliskan nama Muhammad, tanpa mengusung gelar nubuwwah maupun risalah (yaitu Nabi atau Rasulullah Muhammad), yang merupakan keistimewaan Rasulullah n yang terpenting. Jangan tanyakan tentang penyebutan shalawat dan salam bagi beliau. Hingga terkadang tersimpulkan, jika mereka malu atau – angkuh – untuk melantunkan shalawat dan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagai misal, dapat dilihat di buku-buku karya mereka, antara lain: ‘Abqariyyatu Muhammad (‘Abbâs Mahmud Aqqâd), Insaniyyatu Muhammad (Khâlid Muhammad Khâlid), Hayâtu Muhammad (a- Haikal), Muhammad wal-Quwal Mudhaddah (Muhammad Ahmad Khalfullah), Muhammad (Mushthafa Mahmud), Muhammad (Taufiq al-Hakim). Tindakan ini mereka lakukan dengan mengatasnamakan kajian ilmiah dan modernisasi pikiran yang telah dicapai manusia. Bentuk “kemajuan” yang mengagung-agungkan ‘abqariyyah (kejeniusan). Sebagian malah mendudukkan antara kejeniusan dan nubuwwah secara berdampingan.

APA KOMENTAR MEREKA TENTANG RASULULLAH MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM ?
Berikut ini beberapa komentar tentang Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termaktub di karya-karya kaum Rasionalis.

Muhammad Farid Wajdi berkata tentang sirah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sungguh, bila kita berjalan di atas kaidah ilmu dalam menetapkan peristiwa-peristiwa dan kita kaitkan dengan sebab-sebabnya yang paling dekat, maka akan terbentuk sebuah kejadian besar yang membuat ilmu pengetahuan terpukau keheranan, tanpa mampu menjelaskan mengapa hal itu bisa muncul dari seorang diri manusia. Dan selanjutnya, dengan terpaksa mengakui bahwa Muhammad benar-benar seorang jenius dari jenis yang istimewa, yang mengalahkan seluruh kalangan jenius. Ini adalah kemenangan besar buat orang-orang yang mengakui kenabiannya. Pasalnya, pengertian jenius menurut pandangan ilmu pengetahuan berbeda dengan makna yang dimengerti oleh orang-orang awam. Ia bermakna suatu kemampuan yang terdapat pada jiwa orang jenius, berupa ilmu, tindakan tanpa diiringi oleh pengerahan kemampuan untuk meraihnya. Ia datang tiba-tiba tanpa ada yang pernah mendahuluinya, tidak ada padanan dan tidak bisa ditiru …”.[4]

Ambil contoh juga pada tulisan al-‘Aqqâd dalam ‘Abqariyatu Muhammad. Untuk melihat lebih jelas betapa besarnya perhatian mereka terhadap aspek kejeniusan dibandingkan dengan kenabian, wahyu maupun keimanan. Dapat dilihat dari daftar isi kitab tersebut, yang menuliskan: “Muqaddimah, tanda-tanda kelahirannya, sisi keunggulan wahyu, kejeniusan Muhammad dalam politik, kejeniusan Muhammad dalam mengatur strategi perang, kejeniusan menejemen Muhammad, Muhamamd yang jujur, Muhammad seorang pimpinan negara, Muhammad sebagai suami, Muhammad sebagai ayah, Muhammad sebagai pimpinan, Muhammad sebagai ahli ibadah, Muhammad sebagai seorang lelaki, Muhammad dalam perjalanan sejarah”.

Silahkan pembaca menilai, dari kerangka isi kitab tersebut, manakah yang menunjukkan kerasulan, kenabian, keimanan, hidayah, agama dan Islam? Apakah ada perbedaan antara Rasulullah Muhammad dengan seluruh orang-orang jenius lainnya yang tidak punya agama? Bahkan sebagian merupakan orang-orang yang zhalim dan diktator? Sub judul sisi “keunggulan wahyu” pun tidak bisa menjawab pertanyaan di atas.[5]

Khâlid Muhammad Khâlid pun menegaskan komentar yang serupa, bahwa Muhammad adalah manusia biasa. Seandainya bukan rasul, ia sudah masuk dalam kategori seorang rasul. Aspek risalah dan kenabian betul-betul dikesampingkan di sini.

Khâlid Muhammad Khâlid berkata: “Seandainya Muhammad bukan seorang rasul, niscaya ia akan menjadi manusia yang berada di tingkatan rasul. Seandainya ia tidak menerima perintah dari Rabbnya [Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu] -al-Maidah/5 ayat 67- maka ia akan menerima perintah dari dirinya sendiri: “Wahai manusia, kerjakanlah apa yang berdenyut pada hati nuranimu”. Jadi, sumber keagungan, pertama kali datang dari sisi kemanusiaan Muhammad, dari jalan yang membentuk pribadinya.[6]

Subhanallah! Dengan ungkapannya ini, Khâlid Muhammad Khâlid telah menghilangkan nilai-nilai kenabian, risalah dan pilihan Allah. Dia menyangka, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membutuhkan risalah dari Allah dan perintah dari-Nya. Pasalnya, bila Allah tidak menetapkan perintah, niscaya hati nuraninyalah yang akan mengambil alih. Andai Allah tidak mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul, niscaya kematangan akalnya akan mengantarkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tingkat kenabian dan risalah. Ucapan Khalid bahwa keagunganan Muhammad murni bersumber dari pribadinya, juga merupakan pernyataan yang tidak tepat. Karena, keagungan yang beliau peroleh tidak lain bersumberkan dari nubuwwah dan risalah, serta pertolongan dan dukungan secara langsung dari Allah, lebih besar dari apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terima sebelum kenabian.[7]

Mereka itu, paling tidak, meski tidak berani mengingkari nubuwwah dan risalah secara vulgar, akan tetapi telah memberi perhatian yang sangat berlebihan terhadap sisi kejeniusan dan kemanusiaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam “penelitian ilmiah” mereka. Aspek risalah, nubuwwah dan wahyu mereka kesampingkan dan dikaburkan di hadapan aspek kejeniusan. Maka tak disangsikan lagi, anggapan seperti ini telah melahirkan bahaya besar terhadap akidah Islamiyyah, dan tidak bisa dilihat dengan sebelah mata. Sebab, kenabian, risalah, wahyu, dan seluruh sisi keimanan lainnya, merupakan landasan Islam secara menyeluruh.

Semua rincian dan penjelasan tentang keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari Akhir, dan takdir, juga rukun-rukun Islam, hukum-hukum syarit, semuanya tidak bisa diketahui melainkan hanya melalui wahyu dan risalah-Nya. Kejeniusan manusia (dalam hal ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mempunyai andil dalam masalah ini.

Bahkan sebelum masa nubuwwah, beliau tidak mengetahui tentang wahyu dan risalah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`ân) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`ân) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur`ân itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. [asy-Syurâ/42:52].

Akibatnya, dari tulisan para “cendikiawan muslim” ini, kemudian berkembang perbincangan di tengah masyarakat adanya istilah-istilah baru dari kaum Rasionalis. Misalnya, Islam dikatakan dengan istilah dînu Muhammad (agama Muhammad), syarî’atu Muhammad (syariat Muhammad), ta’alîmu Muhammad (ajaran-ajaran Muhammad), ad-Dînul-Muhammadi (agama Muhammad), al-wahyul-Muhammadi (wahyu Muhammad).

Dr. Nâshir al-‘Aql mengatakan, ungkapan al-Wahyul-Muhammadi (wahyu Muhammad) bisa bermakna bahwa wahyu itu bukan dari Allah. Kata-kata lainnya juga tidak pernah termaktub dalam Al-Kitab dan as-Sunnah ataupun ungkapan-ungkapan generasi Salaf. Padahal dalam perkara syar’i yang taufiqi, haruslah mengikuti petunjuk nash syar’iyyah.

Anggapan lainnya dari kaum Rasionalis, misalnya, ketika Rasulullah mengangkat senjata untuk berperang, tidak lain sebagai pahlawan perang saja. Dan ketika memerintah Daulah Islam, status beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah sebagai pemimpin negara atau raja. Tidak ada kaitannya baik dengan agama, wahyu, maupun nubuwwah. Pendapat aneh ini dapat dilihat dalam tulisan ‘Abdur-Razzâq di kitabnya, al-Islam wa Ushul Ahkâm.

Lebih parah lagi yang dikatakan oleh Dr. Thâha Husain. Dia menyatakan, bahwa risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rangkuman dari berbagai ideologi, seperti idiologi jahili (paganisme), Persia, Nashara, Yahudi dan Yunani. Pendapat Dr. Thâha Husain, nampaknya hanya sekedar mengadopsi pemikiran para orientalis Barat dan tokoh-tokohnya. Bukan murni hasil penelitian empiris yang ia lakukan!

Kekeliruan fatal ini terbantahkan oleh Al-Qur`ân, as-Sunnah, dan Ijma` kaum Muslimin, serta fakta sejarah itu sendiri. Allah berfirman untuk membantah para pendahulu Dr. Thâha Husain yang mengatakan kalau Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan talaqqi (menerima pengajaran) dari orang lain. Firman Allah, yang artinya: Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al-Qur`ân itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al-Qur`ân adalah dalam bahasa Arab yang terang. [an-Nahl/16:103].

Islam adalah manhaj yang tiada duanya dalam penetapan ushul dan furu’, tentu tidak sinkron dengan apa yang ditunjukkan oleh Dr. Thâha Husain. Justru, Islam datang dengan ajaran yang sangat berbeda dengan ideologi-ideologi yang disebutkan dan sekaligus untuk mengoreksi dan menggantikannya. Bahkan unsur-unsur dari Yahudi, Persia (Majusi), Nashara, Yunani telah memunculkan kekeruhan dan perpecahan di tubuh umat Islam. Maka bagaimana mungkin pernyataan Dr. Thâha Husain bisa diterima?

PENUTUP
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, secara moralitasnya maupun kematangan dan kemampuan akalnya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung -al-Qalam/68 ayat 4-, sebagaimana juga, beliau adalah manusia yang paling cerdas. Pada diri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat seluruh sifat keagungan, kemuliaan, kedermawanan, kecakapan dan seluruh sifat utama yang ada pada manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam bagi kaum muttaqin dan rahmat bagi sekalian alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkannya di atas seluruh rasul, mewahyukan Al-Qur`ân kepadanya, sebagai sumber peraturan dan manhaj kehidupan. Tugas ilahi telah dijalankan oleh beliau dengan sebaik-baiknya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Segala ketetapan yang beliau keluarkan merupakan aplikasi dari perintah Allah dan bukan bersumber dari kejeniusan ataupun ketinggian kedudukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah seorang hamba, sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, yang artinya: Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku –al-Ahqâf/46 ayat 9- Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. –al-Jâtsiyah/45 ayat 18.

Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas. Terlebih lagi sebagian dari mereka telah meninggal. Semoga Allah memberi curahan rahmat untuk mereka. Hanya saja, lantaran pemikiran-pemikiran mereka yang “kurang tepat” tersebut masih dan bahkan terus berkembang, baik langsung melalui murid-muridnya maupun melalui hasil karya mereka, maka dirasa perlu untuk mengangkat pemikiran mereka untuk diwaspadai. Semoga Allah mengampuni kita dan kaum Muslimin pada umumnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Al-Mauqiful-Mu’ashirul minal-Manhajis-Salafi fil-Bilâdil-‘Arabiyyah (Dirasah Naqdiyyah). Dr. Mufarrij bin Sulaimân al-Qausi, Dârul-Fadhilah, Riyadh, KSA, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
[2]. Al-Ittijahâtul-‘Aqlâniyyatul-Hadîtsah, Prof. Dr. Nâshir bin ‘Abdul-Karîm al-‘Aql, Dârul-Fadhilah, Cet. I, Th. 1422 H – 2001 M, hlm. 190.
[3]. Al-Ittijahâtul-‘Aqlâniyyatul-Hadîtsah.. hal. 225
[4]. Majallatul-Azhar, Tahun X, Edisi 1, Th. 1358, hlm. 15, Vol. 10. Dikutip dari Al-Ittijahât, hlm. 226.
[5]. Al-Ittijahâtul-‘Aqlâniyyatul-Hadîtsah, hlm. 227.
[6]. Insaniyyatu Muhammad, hlm. 9, Dikutip dari al-Ittijahâtul, hlm. 227.
[7]. Al-Ittijahâtul-‘Aqlâniyyatul-Hadîtsah, hlm. 227.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2762-dengan-dalih-kajian-ilmiah-merendahkan-kedudukan-rasulullah.html